Lampau: Lembayung SORE (2008)
Artikel wawancara ini pernah dimuat di majalah Jeune edisi Alphabet Issue yang terbit bulan April/Mei 2008. Wawancaranya sendiri berlangsung si sebuah sore, sekitar bulan Maret 2008. Ditampilkan lagi di blog ini dalam rangka menyambut album The Best of SORE yang akan dirilis tanggal 5 Mei 2013.
Foto diambil dari berbagai sumber yang tersedia pada kolom pencarian gambar di internet.
Saya selalu penasaran, mengapa sih kalian mengambil image-image Indonesia jaman perjuangan untuk album Centralismo yang kemarin?
Foto diambil dari berbagai sumber yang tersedia pada kolom pencarian gambar di internet.
Saya
bertemu dengan para personil SORE di bulan Ramadhan yang lalu, di
sela-sela kesibukan mereka menyelesaikan tahap akhir rekaman album
terbaru yang berjudul Ports of Lima. Setelah berbuka bersama di
sebuah restoran cepat saji di bilangan Kemang, Jakarta, kami lalu
mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbincang-bincang. Akhirnya
diputuskan, wawancara akan dilangsungkan di cafe and resto Eastern
Promise yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari restoran cepat saji
tersebut.
“Wah
godaan banget nih gue! Ntar gue pasti minum. Bulan Ramadhan ini gue
udah bebas alkohol, “ kata gitaris/vokalis Ade Paloh disaat saya dan
rombongan SORE baru tiba di pelataran parkir cafe tersebut yang juga
sering menjadi langganan para ekspatriat. Pada awalnya, Ade hanya
memesan ice cappucino, namun sesaat sebelum kami memulai perbincangan,
akhirnya Ade menyerah. Ia lalu memesan segelas bir, diikuti oleh
rekannya, keyboardis/vokalis Ramondo Gascaro (Mondo). Personil SORE yang
lain, yakni bassist/vokalis Awan Garnida dan gitaris/vokalis Reza
Dwiputranto(Echa) memesan minuman lain yang non-alkohol. Malam itu,
drummer/vokalis Gusti Pramudya (Bembi) berhalangan hadir.
Kami pun
berbincang panjang lebar mengenai album terbaru, sifat cengeng mereka
serta kekaguman terhadap Ebiet G Ade.
Saya selalu penasaran, mengapa sih kalian mengambil image-image Indonesia jaman perjuangan untuk album Centralismo yang kemarin?
Ade : Karena kami sangat mengagumi jaman era-era itu. Kalau gue bilang, itu golden era dimana kesejahteraan, kenyamanan hidup itu bener-benar ada dan eksis di setiap orang.
Bukannya susah jaman itu?
Ade : Susah mungkin ekonominya.tapi moodnya? Karena itu habis perang kan, jadi hope orang, optimismenya tinggi. Orang lebih kekeluargaan, family values lebih diutamakan. Jadi kenyamanan hidup aja yang kami liat disitu. Lebih ke mental sih daripada fisik lahiriah.
Padahal musik kalian nggak kesitu?
Awan : Iya. Tapi mungkin lebih merepresent gambaran jaman itu. Lebih ke spirit ya.
Ade : Secara otomatis mungkin lebih ke penulisan lirik yang mengarah kepada kata-kata yang dulu itu sering dipake.
Seperti kalian menyebut penggemar SORE sebagai kampiun? Itu kata-kata yang dulu sering dipake juga kan?
Ade : Iya. Kampiun kan champion. Semua itu juara. Nggak ada loser. Siapapun juga orang itu juara. Mereka kan juara hidup mereka sendiri.
Kalau menurut kalian Indonesia nggak pernah dijajah Belanda akan gimana nasibnya?
Ade
: Aspek kehidupan kita akan pasti berbeda banget. Pasti akan lain.
Mungkin kita lebih optimis terhadap diri sendiri. Satu hal, kita nggak
akan saling membenci satu sama lain. Saling optimis. Saling mendorong.
Sori kata, apa yang diajarin Belanda kepada kita, kalau elo bukan orang
yang terpilih elo nggak bisa apa-apa. Itu kan gila. Sampe sekarang itu
masih terjadi. Sosial hirarki lebih diutamakan kepada orang yang
mempunyai apa..Belanda kan gitu. Devide et empera. Dipecah belah manusia ama mereka.
Untuk album terbaru ini akan tetap menggunakan image-image jaman perjuangan tersebut?
Ade : Lebih ke spirit sih, itu selalu akan ada. Spirit kebersamaan kami berlima.
Tapi secara visual nggak terlalu mengarah ke situ lagi?
Awan
: Yah kami akan terus berkembang. Nggak satu gaya itu terus. Mau
seperti apa gaya kami juga belum tau pasti ke depannya akan seperti
gimana. Tapi yang pasti kami nggak mau terjebak di image-image dulu juga.
Karena kalian juga bukan band retro ya?
Ade : Iya, kami nggak pernah mau dibilang retro.
Awan : Kok elo bisa ngomong SORE nggak retro?
Karena saya dengernya musik kalian memang nggak retro.
Ade : Iya, bener itu. Thank you banget.
Ok, sekarang berbicara tema. Kalian menyebut album Centralismo sebagai penghargaan terhadap Jakarta Pusat. Kalau untuk album terbaru ini, gimana?
Ade : Lebih ke film. Kami coba meramu musik dengan sentuhan yang lebih sinematis.
Awan : Kalau album Ports of Lima ini seperti mempersilahkan orang-orang masuk ke dalam diri kami berlima. Ports itu kan seperti gerbang. Lima itu yah kami berlima. Jadi orang-orang memasuki diri kami.
Jadi lebih personal?
Dari judul-judul di Ports of Lima sepertinya lebih gelap ya sekarang? Ada yang judulnya “Merintih Perih”, "Layu", “In 1997 The Bullet Was Shy”, dsb.
Ade : Merintih perih itu lagu ciptaan Echa buat Indonesia.
Bisa diceritakan?
Echa : Yah masyarakat Indonesia masih banyak yang merintih perih.
Ade : Udah jatuh ketimpa tangga. Udah luka ketiban duka, dibalutin luka. Luka yang penuh duka. Gila tu! (tertawa)
Kalau “In 1997 The Bullet Was Shy”, katanya pengalaman pribadi Ade? Titik tergelap dari hidup Ade. Bener nggak?
Ade : Itu bener. Gue ceritain nih? Waktu itu percobaan bundir (bunuh diri-red). Waktu itu gue pake pistol.
Lalu?
Ade :Yah gitu. Sampe sekarang masih hidup kan? (tertawa)
Udah sempet menarik pelatuk?
Ade :
Udah sempet. Makanya judulnya itu. Tahun 1997 pelurunya malu. Pada saat
itu, gue menolak untuk menerima konklusi hidup yang telah ditentukan
oleh keluarga, society. Yang elo harus begini, elo harus begitu.
Gue menolak itu semua. Buat apaan. Gue punya hidup sendiri. Itu
kemelut-kemelut gila sih.Yah makanya gue terlalu gila juga kalau
nyanyiin lagu itu. Makanya Mondo yang nyanyi. Serem gue nyanyinya. Gila
ya kata-katanya.
Liriknya dibuat saat itu juga?
Masing-masing
personil di SORE kan membuat lagu. Kalau kontribusi masing-masing
personil dominan, benang merahnya dari musik SORE itu apa?
Awan : Yah togetherness itu.
Echa : Kayak satu orang director bikin film horor, komedi, beda kan? Tapi tetap ada touchnya.
Awan : Kayak elo seneng Beatles kan? Dari awal ampe akhir kan beda-beda, tapi benang merah Beatlesnya awet.
Ade : Karena kami juga berlakon sih ya...
Berlakon kayak gimana maksudnya?
Awan : Yah, gue sebagai bassistnya, Bembi sebagai drummernya di ceritanya Ade misalnya.
Ade : Kami merasakan empati kepada yang buat lagu. Misalnya Echa yang buat lagu. Terus dia cerita tentang lagunya, moodnya kayak gini. Moodnya
dia kan? Nah kami langsung berlakon, langsung berempati terhadap cerita
dia. Misalnya film ni. Tragedi filmnya, masa kita maennya komik? Jadi
bener-bener kami ngelakonin tragedi itu. Tapi abis take, langsung ketawa-tawa lagi. (tertawa)
Awan
: Untuk memperjelas tadi, ada beberapa band misalnya anggotanya lima,
dipimpin sama satu orang. Jadi semua maen sesuai dengan kemauan yang
mimpin itu. Elo nyanyi kayak gini. Elo maen basnya nggak boleh gitu.
Kalau di SORE mungkin agak lebih lebar, karena lima orang ini
benar-benar dilibatkan di pembuatan lagu.
Makanya nggak ada istilah frontman ya di SORE?
Ade : Nggak ada. Bembi yang maen drum di belakang juga frontman.
Walaupun sebenarnya di panggung yang lebih banyak ngomong Awan ya?
(semua tertawa)
Awan :
Kalau bisa sih kami maen nggak usah ngomong. Tapi karena keperluan
sebuah acara, dan sebagai macamnya, mau nggak mau yah harus dipresent.
Kenapa nggak mau ngomong di panggung?
Awan : Yah namanya musik. Biar musik aja yang berbicara. Cuma sikon aja yang menuntut kami harus ngomong. Interaksi sama audiens itu kan nggak harus bikin mereka tertawa atas guyonan kita. Audiens bisa impres dengan musik, itu yang gue pikir harus terjadi.
Kalau tidak ngomong di panggung, bukannya bisa menimbulkan jarak dengan penonton?
Awan
: Kalau memang musiknya impresif? Masuk, maen, bikin penonton
terkesima, kelar maen langsung cabut, juga ada kan tuh komunikasinya.
Mondo : Udah kayak nonton simfoni aja.
Ade : Kami nggak bilang, kami harus nggak ngomong ya. Sebenarnya itu mood juga sih.
Awan : Jadi pernah, Miles Davis pas perform diprotes gara-gara pake bajunya nggak sesuai dengan keinginan audience. Kata pemilik tempatnya, ‘baju elo nggak sesuai dengan kriteria audience
disini.’ Akhirnya Miles Davis ngambek, terus dia balik ke belakang
panggung, lalu dia ambil rak baju dan ditaro ama dia di atas panggung,
sambil ngomong ke pemilik tempatnya, ’Ya udah elo nonton dia aja.’
(tertawa) Gila, penonton disuruh nonton gantungan baju jadinya. Kalau
untuk musisi sekarang kecenderungannya, ‘ah elo kurang asik, karena elo
nggak bisa ngomong ama penonton. Ah elo nggak asik karena bajunya nggak
represent ama musik elo.’ Kalau elo bangsat, elo harusnya yah muncul as a bangsat. Jangan elo pengen bikin image too much, itu justru sakit buat kami. Buat apa kami jadi diri kami sekarang kalau untuk jadi sebuah image tertentu apalagi untuk demi bisa dijual.
Ade : Kita semua dilahirkan untuk jadi diri kita.
(Lalu Mondo ikut berbicara sesuatu. Namun suaranya seperti bergumam dan tidak terdengar oleh saya.)
Ade : Tuh kan?Gila dia manusia. Mondo kalau ngomong banyak yang bagus quotes-quotesnya.
Tapi yah ngomongnya gitu, nggak kedengeran. Kayak ngomong sendiri aja,
kalo nggak, sambil maen-maen ama tangannya dia. Kayak gitu tuh. Sambil
lalu. (semua tertawa)
Awan : Jawanya kuat dia, pemalu. (tertawa)
Saya
pernah baca di suatu majalah musik, kalian menyebutkan bahwa album
terbaru ini lebih banyak berbicara mengenai cinta karena label nyuruh
kalian untuk lebih jualan.
Ade : Hah, yang bener elo? Kapan tu?
(Mereka
tampak kebingungan, dan saling berbicara satu sama lain. Dan tidak ada
satupun dari mereka yang merasa pernah mengeluarkan statement itu)
Ade : Gue nggak pernah ngomong gitu. Majalahnya apa?
(Lalu saya menyebutkan nama majalahnya)
Ade : Gue juga belum baca. Makanya gue kaget banget.
Awan : Mungkin orang Aksara kali yang ngomong...
Ade : Tapi kan mereka harusnya nggak bisa ngomong atas nama band. Wah gila, pernyataan itu bertolak belakang banget.
Label memang nggak pernah ada campur tangan?
Awan : Nggak ada. Justru kami admire Aksara salah satunya yah itu, mereka memberikan kami kepercayaan. Mereka respek terhadap apa yang kami buat.
Sampai sejauh ini, Sore masih membutuhkan bantuan seorang produser nggak kira-kira?
Ade : Dari awal kami nggak pernah pake produser. Semua kami kerjakan sendiri.
David Tarigan nggak bantu?
Ade : Ada refrensi sih dari dia. ’Ini bagusnya elo pake ampli ini. Ini lebih bagus gitarnya pake lick ini.’ Lebih ke taste sih.
Echa : Kami seneng juga sih, karena artinya dia peduli ama SORE. Sayang juga ama kami.
Ade : Dia nggak pernah demand, kalau kami nggak ngikutin juga nggak kenapa-kenapa.
Jadi sampe sekarang masih nyaman yah di Aksara?
Awan : Iya. Dan jujur aja, spirit
seperti itu yang kami butuhkan untuk lebih maju. Kalau yang terjadi
sebaliknya, kami nggak akan lebih maju, jadi mundur, jadi patah hati.
Kalau ke depannya, ada tawaran dari label yang lebih besar dengan distribusi yang jauh lebih luas, apa yang akan kalian lakukan?
Awan
: Pasti kami akan mau bekerja sama dengan berbagai pihak, yang pasti
bisa menguntungkan pihak yang mengajak kami kerjasama dan sebaliknya.
Kami nggak menutup pintu kesitu juga.
Echa : Semakin banyak kerjasama sama dengan orang banyak, kan semakin banyak wawasan.
Menurut kalian, pendengar SORE itu siapa aja? Dari rentang usia atau pekerjaan apa?
Ade : Pertama dulu, pas Centralismo keluar paling banyak itu college boy. Anak-anak universitas.
Awan : Ama orang-orang freak...
Ade : Haha..jangan lho, gila lo..Karena kami sebenarnya freak
juga. Kami idiot juga. Sama. (tertawa) Tapi lama kelamaan kami lihat,
anak-anak SMP juga banyak yang suka. Kami beberapa kali main di SMP,
pada nyanyi bareng.
Awan
: Malah pernah di satu acara, inagurasi anak SMP atau SMA kalau nggak
salah, satu keluarga nonton SORE. Sebelum SORE main, mereka bolak balik
nanya ke pantia, nanyain SORE sudah maen apa belum. Lengkap, bapak, ibu
sama anak-anaknya juga. Semua nonton rame-rame. Seru sih. Itu kayak
bonus aja bagi kami.
Ade : Kami nggak pernah milih ya. Kami nggak pernah ada ekspektasi. Tujuan kami cuma menghibur orang aja.
Kalau tanggapan publik di luar Indonesia, sejauh ini gimana?
Ade : Kemaren terakhir ada orang Malay, Filipina yang suka sama SORE.
Echa : Di Belanda ada orang yang bikin klip “Somos Libres” Dia download di I-Tunes lalu buat videonya.
Awan : Musisi Norway juga ada yg suka SORE.
Siapa? Sondre ya?
Ade : Haha..dia tau ni.
Awan : Iya, pas Soundshine. Sondre ngasi tanggapan terhadap musik SORE. Dan SORE juga ngasi tanggapan terhadap musik Sondre.
Lalu Sondre bilang apa?
Ade : Kami mau diajak makan. Nggak ada yang bisa lagi! Gila nggak tu! Dia pengen ngobrol, pengen diskusi. Nih bukan dibikin-bikin ya...dan ini purely
bukan muji diri sendiri...dia bilang SORE jenius. Kan pusing gue.
Bohong nih orang bule. Ini karena dia lagi disini aja, supaya nggak
digebukin! (semua tertawa)
Kilas balik sedikit nih. Kalian dulu itu memang satu sekolah semua?
Awan
: Gue SD, SMP sama Mondo dan Ade. Pas di SMA, ketemu Bembi. Pas kuliah
ketemu Echa. Ternyata Echa itu adek kelas gue pas di SMP. Dan Bembi itu
adek kelas Echa pas di SD. Gue ngeliat si Bembi maen drumnya asik. Gue
kenalin ama Mondo, Ade. Waktu itu, gue bilang ke anak-anak, ada temen
gue satu lagi, namanya Echa. Kiri juga lagi. Samperin deh. Eh awalnya
Echa nggak mau lagi...(semua tertawa)
Echa : Beda warna sih musiknya...
Ade : Ceritain dong tentang Sonic ama Smashing! Kan influence pertama elo Sonic Youth ama Smashing Pumpkins. Echa itu warna paling lain di SORE
Echa : Gue lebih banyak dengerin musik-musik 90an. Alternatif gitu deh. (tertawa)
Terus akhirnya Echa mau gabung, gimana ceritanya?
Ade : Karena satu lagu itu. Itu lagu lama banget. Judulnya ”Vrijeman”,
ada di Ports of Lima juga lagunya. Lagu itu kan kenceng, gue yang
nyiptain. Pas dibawa ama Awan, si Echa kuranglah ama lagu SORE.
Dipikirnya kan kayak lagu SORE yang pertama, ”Awan Lembayung” yang
jazzy-jazzy gitu. Namun, setelah denger ”Vrijeman”, dia langsung nanya ke Awan, kapan bisa ke rumah gue untuk latihan. (tertawa)
Kenapa lagu itu nggak dimasukin ke Centralismo?
Ade
: Iya, yah..padahal lagu itu lagu yang paling sering kami latih di
awal-awal. Jadi gara-gara pas sesi-sesi latihan menjelang rekaman album Centralismo, tiba-tiba banyak muncul ide baru. Jadi akhirnya yang direkam untuk album Centralismo hampir semua materi baru. Nah di album Ports of Lima ini, baru banyak materi lama, lagu-lagu yang dibuat jauh sebelum Centralismo.
Dulu saat membuat Centralismo, rata-rata dari kalian sudah menginjak late
20. Sedangkan banyak band baru bermunculan, rata-rata umur personilnya
di awal 20an yang katanya lagi produktif-produktifnya. Ada pengaruhnya
nggak masalah umur ini bagi SORE?
Awan : Pengaruh lebih ke fisik kali. (semua tertawa) Cuma makan jaman kalau sudah tua. Rootsnya mungkin lebih kuat kalau yang berumur.
Ade : Umur anak-anak SORE biarpun 30an sekarang, tapi jiwanya masih 15 tahun. Anak SMP! Serius.
Kenapa?
Ade
: Contohnya begini. Gue pernah ke PERCIK sama Awan berdua. Umur gue
udah 29 waktu itu. Mau maen basket di PERCIK. Terus gue ama Awan maen
deh. Lalu gue bilang, “Wan ini pasti banyak anak ISTN nih!” Tua-tua kan
pasti. Tiba-tiba gue sadar, “Tunggu dulu, kan anak-anak ISTN itu di
bawah gue juga!” (tertawa) Gila! Ngerti nggak elo? Gue mikirnya kami
masih kecil aja. Takut digebukin, takut dipalak sama anak-anak ISTN.
Tapi kan gila, umur mereka jauh di bawah gue! Ok, kebijaksanaan kami
mungkin setaraf dengan umur. Tapi mental dan spirit? Piyik udah! Anak kecil...(tertawa)
Anak muda atau anak kecil nih?
Ade : Anak kecil! (semua tertawa)
Tapi
gara-gara umur itu juga, musik kalian terdengar matang tanpa harus
terdengar pretensius. Impresi saya saat pertama kali mendengar musik
SORE seperti sekumpulan orang-orang yang mencintai dan bersenang-senang
terhadap musik yang kalian buat. Kalian terdengar mempunyai passion yang besar terhadap musik.
Ade : Wuih. Leboy
dia. Dapet! Bener. Iya, kami memang sangat mencintai musik dan juga
kata-kata. Gue pribadi cinta banget sama kata-kata yang bagus. Mungkin
itu cuma beberapa sentence, tapi kalau sangat bagus, bisa nangis gue. Tanya aja dia. (menunjuk ke Echa)
Echa : Dia jahat ni, jahat ni! Bikin lagu waktu itu buat gue.
Ade : Dia langsung nangis lagi pas denger... (tertawa)
Gimana ceritanya ?
Echa :
Ade bikin lagu. Dia ngasi tau pas lagi di studio. Dia nyuruh gue
dengerin. Pas denger, ya udah...gue langsung nangis. Dia bikin lagu
tentang almarhum kakak gue. Gila aja rasanya...
Lagu itu nggak masuk ke album?
Echa : Nggak. Terlalu personal.
Ade : Emang cengeng-cengeng semua sih anak-anak SORE. Tapi cengengnya lebih ke empati. Gimana yah..misalnya ada jaing(anjing-red)
ketubruk apa, ketawa aja paling. Tapi kalau ada intrik-intrik lain bisa
nangis. Yah karena empati itu. Mencoba menaruh diri di posisi yang
menderita.
Awan
: Sebagai penemu mereka juga, emang gue sadar nggak ada yang standar
orang-orangnya. Antik-antik. Nggak umum aja orangnya. (tertawa)
Menjadi cowok nggak harus malu untuk menangis ya.
Ade : Iya. Gue inget banget, gue pernah nangis di depan umum. Di senayan tuh.
Awan : Pas nonton The Monophones, dia pecah...(semua tertawa)
Ade
: Yah untuk pertama kalinya gue nangis di depan umum. Sangking bagusnya
si Monophones bawain lagu “Nanar”, lagunya Naif untuk album tribute
kemaren.Gila. Urusan nangis, biasanya kan privasi gue sendiri. Seringlah
seminggu ada berapa kali. Karena nonton apa atau denger lagu apa. Tapi
yah waktu itu, pertama kali gue nangis depan umum. Sangking bagusnya.
Jadi yah itu, kami kalau merasakan sesuatu selalu maksimal sampe di satu
poin kita trance. Yah jadinya gitu.
Pekerjaan kalian selain SORE apa aja sih?
Ade : Gue bisnis sendiri ama keluarga di bidang supply perminyakan.
Echa : Gue desain interior. Bikin furniture, kitchen set.
Awan : Kalau gue, bisnis properti sama jasa boga.
Kalau Bembi kan ngajar musik, kalau Mondo?
Mondo : Bikin jingle iklan, dan sebagainya. Lebih ke audio production.
Dulu kuliahnya musik?
Mondo : Sempet, tapi nggak kelar.
Jadi nggak ada yang kuliah musik lagi ya?
Ade
: Satu-satunya yang kuliah musik cuma Mondo. Echa desain interior. Gue
manajemen. Bembi FISIP, tapi ditanya politik apa nggak tau. Gila, elo
buat apa sekolah...(tertawa) Ditanyain politik apa, Bembi pasti ngomong,
’Nggak ngerti gue, gue kuliah buat bokap gue aja.’ (semua tertawa)
Sepertinya Ade yang lebih tertarik ke politik dan kuliah di FISIP?
Ade : Iya, pengen banget gue yang berbau-bau gitu.
Saya baca di Myspace, Ade juga suka mengoleksi barang-barang militer ya?
Ade : Iya, dulu.
Ada obsesi-obsesi khusus?
Ade : Gue itu mencintai banget keseragaman, kebersamaan. Apalagi kebersamaan sangat disimbolisasi dengan militerisme kan? Tapi
nggak juga menjadikan gue seorang militan. Gue itu malah radikal
banget. Tapi gue suka keseragaman. Jadi kadang-kadang ada pemaksaan juga
terhadap radikalisme gue. (tertawa) Suka gue yang kayak gitu-gitu.
Ada pengaruh ke lirik nggak?
Ade
: Nggak pernah langsung gitu sih. Yang radikal banget lirik itu ”Somos
Libres.” Itu lebih kepada kebebasan seseorang untuk bisa jadi radikal
tanpa takut apapun juga resikonya. Di dunia yang hitam kita pasti akan
bahagia. Itu sebenarnya dunia kepala kita sendiri lagi. Dunia yang hitam
kan pada saat kita menutup mata.
Kalau untuk lirik ada pengaruh Morrisey?
Ade : Wuiih..bandit itu. International playboy
itu. Ada juga gue mengacu dari dia. Belajar banyak dari dia. Tentang
realisme tapi yang dibikin metafora. Disadur lagi. Tapi itu lebih ke subconscious. Nggak sengaja. Karena gue dengerin banget.
Lirik-lirik SORE sebenarnya lebih banyak bercerita tentang apa?
Ade : Social outlook
sih. Orang mungkin melihatnya ini tentang cinta. Tapi sebenarnya
tentang jati diri. Cinta kita terhadap jati diri kita sendiri. Kalau
misalnya orang ngira ada lagu SORE tentang broken heart, padahal
itu nggak. Sebenarnya itu tentang kehilangan jati diri kita. Kalau SORE
bisa disamakan secara musik, mungkin kami sama kayak The Brandals. Social outlooknya sama. Tapi Brandals lebih langsung. Kalau kami lebih metafora.
Lagu “Mata Berdebu” itu tentang pencarian jati diri?
Ade :
Iya, benar, Itu tentang pencarian jati diri. Disitu kan ada kata-kata,
”diantara musafir-musafirnya”, musafir-musafir itu adalah influence-influence
kita yang selama ini mencampuri hidup kita yang bikin kita percaya yang
ini, percaya yang itu. Jadi kita kayak hilang jati diri kita sendiri.
Mata berdebu kayak kita jalan di gurun pasir, lama kita mencari jati
diri kita terus. Akhirnya nggak pernah ketemu ya...(tertawa)
Kalau pengaruh lirik dari musisi Indonesia, dari siapa ?
Ade : Ebiet. Ebiet paling gila lagi. Dia orang paling di underated di Indonesia. Itu gue kasian lagi. Itu ‘dewa’ lagi untuk nulis lirik!
Iwan Fals?
Awan : Kalo Iwan lebih kasar. Itu kayak ’Brandals’nya. Ketauan banget. Plain. Ngajak orang rebel.
Lagu-lagu Ebiet nggak hanya berbicara cinta ya?
Ade : Dia
malah kritis juga. Tentang kemanusiaan. Kemorosotan akhlak manusia.
”Coba tanyakan pada rumput yg bergoyang.” Itu berarti elo disuruh
bengong. Elo nanya. Rumput bergoyang nggak akan bilang ama elo. Tapi
coba, elo bisa liat lukisannya disitu nggak? Dia orang gila lagi tu.
Keren banget. Cuma kasian dia dianggap underated banget.
Tapi kemaren-kemaren Ebiet diangkat lagi, ada album terbaru kan? Yang sama Anto Hoed itu...
Awan : Padahal gue kemaren-kemaren baru mikir, ‘apa kita rilis lagi musik Ebiet?’ Eh tapi udah keduluan.
Ade :
Gimana yah...kayak misalnya Chisye diulas gitu...tau deh..gue kurang
suka aja. Karena gue suka banget ama mereka. Jangan dieksploitasi
sesuatu yang indah itu. Dia akan bersinar sendiri kok. Sinarnya akan
sedikit tertarnis, ternodai. Sori kata, emang kayak gitu gue
ngeliatnya. Sedikit menyedihkan aja kalo sampe harus kayak gitu. Ngapain
sih sebenernya? Untuk memperkenalkan lagi atau gimana? Tapi dilematis
juga sih gue mikirinnya. Apa gue terlalu sayang sama mereka aja kali ya?
Awan : Gue pernah denger cerita, pas Chrisye bikin album baru. Dia minta band muda yang pada saat itu lagi booming,
minta bikinin lirik buat lagu dia yang baru. Yah mungkin demi
popularitas, atau biar lebih ngejual kali. Wah gila, seorang Chrisye
gitu...Amit-amit deh, gue nggak mau ampe kayak gitu, kalau gue udah tua.
Ade
: Namanya juga bintang yang maha bintang. Itu akan terus bersinar.
Kayak kita liat bintang di atas, itu kan yang kita liat seratus juta
tahun yang lalu. Maksud gue, belum tentu bintangnya masih ada. Tapi itu
sinarnya yang kita liat. Untuk cahaya travel dari bintang ke bintang kan butuh jutaan tahun cahaya. Yang kita lihat itu kan cahayanya doang. Belum tentu bintangnya ada.
Ke depannya, kalian akan tetep kerja dan maen band?
Ade : Emang udah nyamannya gitu. Dokat (uang-red) paling biar bisa nerusin bermusik aja. Kerja juga bukan goal utama. Tapi lebih buat agar bisa terus memproduce musik aja.
Setelah kesuksesan Centralismo
kemarin, ada tanggung jawab tersendiri nggak? Misalnya tanggung jawab
ke penggemar agar SORE ini harus jalan terus, dan nggak boleh berhenti
di tengah jalan.
Ade : Tanggung jawab ke diri gue sendiri aja sih. Kalau nggak ngeband mokat (mati-red) gue. Mau ngapain? Jadi zombie, jadi robot gue, di rumah aja. (semua tertawa)
Terima kasih ya atas ngobrol-ngobrolnya...
Ade : Kami juga terima kasih. Jadi menyegarkan. Tau nggak, dengan ditanya, elo tau diri elo siapa.
Tapi sayangnya, banyak musisi di Indonesia yang nggak bisa ngomong banyak atau berbicara blak-blakan...
Ade : Yah sebenarnya mereka pengen, tapi ada unsur-unsur tertentu yang menahan. Ada lagi yang kayak gitu, kasian juga sih...
Awan : Ada yang nggak boleh ngaku udah punya anak lagi. (tertawa)
Ade :
Tu kan? Udah gila kan tu, anak sendiri nggak diakuin. Soalnya kalau
kita bertanya sendiri jatuhnya kan bias, subyektif kan jadinya. Yah
ngobrol-ngobrol yang kayak gini yang bikin kita tau lebih banyak lagi
tentang diri kita sendiri.
interview yang personal dan emosional sekali. saya suka.
BalasHapusBagus... Jadi tau latar belakang lagu In 1997 the bullet was shy. Ade seorang Survivor depresi yang selamat. Semoga depresinya ga kambuh lagi ya De..
BalasHapusSebagai penggemar Sore Ze Band, saya seneng banget baca komunikasi dua arah yang begitu personal ini. Makasih udah upload!
BalasHapus