Bagaimana SORE Merubah Hidup Saya
Berikut ini cerita dari Marnala Eross Simanjuntak, seorang penulis dan fotografer dari webzine Gigsplay. Ia juga menjadi fotografer resmi dari band Hollywood Nobody, The Triangle dan Mocca.
Semua kegiatan yang Eross lakukan saat ini ternyata bermuara pada satu hal: SORE. Simak ceritanya kepada saya yang sengaja ditampilkan di sini dalam rangka menyambut album The Best
of SORE yang akan dirilis 5Mei
2013 nanti.
Bagaimana SORE Merubah Hidup Saya
Sewaktu
SMA di Medan, selama tiga tahun gue tinggal bersama nenek dari keluarga ayah
yang akrab disapa ompung. Kamar seluas 1x2 m gue pergunakan untuk membaca buku
dan mendengarkan radio. Suatu sore di 2005 ketika masih duduk di kelas dua,
salah seorang penyiar radio hendak memutarkan lagu dari grup Indonesia yang
menurutnya, tengah merambah tangga lagu radio di Seattle, AS.
Karena
penasaran, gue perhatikan lagu itu dari awal sampai selesai. Lirik dan
melodinya renyah, “I love you when you love me, and we’re gonna make a big
family,” potongan dari “No Fruits for Today”. Ada perasaan nyaman dan santai di
lagu ini.
Momen
pertama kali mendengar SORE menandai titik dimana gue tergerak mencicipi
sesuatu yang baru. Sebelumnya gue memang agak males dan sulit kepingin tahu
sesuatu yang baru. Usai mendengarkan, gue langsung pengen beli cd band ini.
Ingin mendengarkan lebih jauh.
Sebelum
kenal SORE, gue tidak banyak mencari musik baru. Bahkan, boleh dibilang jarang
dengar musik. Paling cuma tahu band-band Indonesia populer (yang sering di
televisi). Apalagi ketika gue SMA di Medan, pentas musik sedikit. Kalau pun ada
band lokal, itu-itu saja (rock, pop jazz, dll). Kurang variatif. Pada akhirnya
radio jadi andalan. Tapi di masa akhir gue SMA pun gue jarang dengerin radio
lagi.
Ketika
itu, gue tidak banyak berteman dengan orang-orang yang mendengarkan musik
sejenis itu. Berpikir merekomendasikan pun tidak, hanya dinikmati sendiri.
Namun beberapa kali sempat memutarnya di mobil temen ketika sedang bepergian.
Reaksi mereka terlihat biasa. Tidak untuk mendengar lebih jauh. Kondisi ini
kontras banget sama sekarang. Sekarang, di kontrakan gue aja setidaknya ada dua
kamar yang suka banget “Sssst…”
SORE
jadi band yang bikin gue pengen tahu lebih lanjut soal band-band (bagus)
Indonesia. Gue jadi tergerak untuk eksplorasi musik. Mendengarkan musik jadi
hobi baru. Jadi penasaran, seperti apa sih musik di luar sana? Jadi kepingin
tahu soal band ini, band itu. Sebelumnya tidak ada perasaan seperti itu.
Pertama-tama dimulai dari band-band (ya sebutlah) indie lokal, baru setelah
kuliah di Bandung lebih tergerak lagi untuk mencari tahu musik baru.
Sumbangsih
SORE paling signifikan adalah karena band inilah yang bikin gue pengen motret. Gue suka
musik, tapi nggak bisa main musik. Bisa jadi hasrat ini tersalurkan lewat
mengabadikan dalam medium visual. Namun ketika semester 1 di kuliah Fotografi,
gue enggan pengen tahu soal apa itu dan gimana cara mempergunakan kamera. Tapi
karena senang menonton band favorit dan ingin mengabadikan, jadilah gue menggunakan
kamera untuk pertama kali di acara PMKT di kampus Fisip Unpar tahun 2009. Dan objek foto pertama gue adalah SORE. Lagi-lagi SORE membuat momen besar di hidup gue dan saat itu bikin gue pengen tahu lebih lanjut soal
motret musik yang berlanjut hingga sekarang.
Tahun 2005 itu aku masih kelas 1 SMA, dan menurutku justru tahun itu salah satu tahun terbaik di scene musik (indie) Medan. Ada Huria records, kompilasi Let's push thing forward, serta gig legendaris Lost In A Melody, hehe..
BalasHapusSaluuut buat anda,saya juga pecinta musik SORE yang sampai saat ini belum bisa memainkan musik dan memang mencari musik yg apa saya dengar sekarang ini tidak cukup berjalalan di keramaian sekitar 5 meter,mungkin bisa berjalan berpuluh kilometer,kesimpulannya satu,musik ini hanya untuk dinikmati sendiri dan oleh orang lain yang mengerti akan seni musik berkualitas.
BalasHapus