Lampau: Wawancara The Radio Dept (2008)

  



The Rockest Taste in Pop Music 

Sehari sebelum tampil pada acara Oz Boxshow Live, saya berkesempatan menemui para personil Radio Dept di Apartemen Ciumbuleuit, tempat mereka menginap. Jadwal yang ditetapkan panitia seharusnya jam setengah sembilan pagi, namun di menit-menit akhir jadwal tersebut diundur menjadi jam sepuluh. Sepertinya Johan Ducanson, Martin Larsson serta Daniel Tjader terlalu asyik menghabiskan malam pada salah satu pub di kota Bandung sehingga mereka tidak dapat bangun lebih pagi. ”Mereka kuat banget minumnya. Disuruh pulang, malah nambah minum lagi, ” kata salah seorang panitia yang bertugas menemani mereka selama di Indonesia. 

Alkohol memang tidak hanya lekat pada band rock saja, Radio Dept yang notabene memainkan musik pop juga dekat dengan urusan meminum alkohol. Terbukti dari raiders yang mereka berikan kepada panitia, hampir sebagian besar berurusan dengan alkohol, mulai dari bir, wine sampai liquor.

Namun ada satu hal di dalam raiders mereka yang sedikit banyak memperlihatkan hubungan dari sensibilitas musik yang mereka mainkan. Selain meminta berbagai jenis minuman, para personil Radio Dept masing-masing meminta disediakan dua buah postcard. Awalnya panitia mengira postcard tersebut hanya akan dijadikan barang koleksi. Namun ternyata postcard itu mereka gunakan untuk mengirim kabar kepada sanak saudaranya di Swedia sana. Bayangkan, di tahun 2008, disaat teknologi berkirim pesan sudah semakin canggih dan cepat, para personil Radio Dept masih menggunakan medium postcard untuk berkirim pesan. Mungkin mereka mengejar sisi sentimentil, keintiman serta romantisme yang hanya bisa didapat pada selembar postcard yang secara tidak langsung elemen-elemen tersebut juga selaras dengan musik pop yang mereka hasilkan.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas siang sewaktu Johan dan Martin akhirnya muncul di hadapan saya dan teman-teman wartawan lainnya. Kebetulan saya mendapat giliran yang pertama untuk mewawancarai mereka. Tidak lama setelah itu, Martin datang menyusul dengan wajah semerah apel, mungkin ini efek semalam yang masih tersisa. Wawancara pun dimulai dengan banyak batang rokok yang mereka habiskan. Tampaknya selain menyukai alkohol, para personil Radio Dept ini juga gemar akan nikotin. Dan kabar baiknya, saat ini mereka tengah berada di sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi kebiasaan rakyatnya untuk merokok. ”Yeah, saya sangat suka di Indonesia. Bisa merokok di sembarang tempat, everywhere is an astray in here!” seru Martin dengan tawa lepasnya.


Kalian mengetahui bahwa seharusnya kalian akan bermain bersama St. Ettiene di sini?

Johan: Iya, kami tahu. Sayang sekali mereka tidak jadi datang. 

Bagaimana reaksi kalian saat mengetahui kabar bahwa kalian akan sepanggung dengan mereka? St. Ettienne salah satu influences kalian, bukan?

Johan: Senang yang pasti. Ya, mereka cukup penting, khususnya bagi saya untuk beberapa saat. Khususnya album-album awal mereka yang saya banyak dengarkan. 

Martin: Mereka band yang bagus. Sayang sekali mereka tidak bisa datang. Kami sangat-sangat ingin bermain satu panggung dengan mereka. 

Kalian belum pernah sepanggung dengan mereka ya?

Martin: Iya, belum. Namun saya pernah sekali bertemu Bob Stanley. Dia orang yang sangat menyenangkan.

Kalian lebih suka dikatakan sebagai band indiepop atau band shoegaze? 

Johan: Indiepop. Karena itu lebih sedikit luas. Walaupun saya suka shogaze.

Saya pernah membaca deskripsi dari Amazon.com mengenai album Pet Grief, mereka bilang Pet Grief adalah lagu terbaik yang belum pernah ditulis oleh Pet Shop Boys dan album yang kamu harapkan dirilis oleh My Bloody Valentine setelah Loveless.

Johan: Saya belum pernah baca itu. Wow...Benar-benar deskripsi yang bagus. Saya tidak yakin album My Bloody Valentine setelah Loveless akan seperti Pet Grief. Kami tidak se-shogaze itu.

Karena saat ini kalian juga lebih memasukkan unsur elektronik?

Johan: Ya, ada banyak unsur elektronik di album Pet Grief. 

Apa alasan kalian sedikit berubah haluan di album Pet Grief? Apakah kalian merasa sudah terlalu banyak band yang melakukan apa yang kalian lakukan selama ini?

Johan: Iya, itu tepat sekali. Banyak band baru di Swedia saat itu, yang menggunakan formula musik yang mirip dengan kami, jadi kami memutuskan untuk merubah haluan. Lebih elektronik dan lebih bergitar dari album pertama.

Tapi hasilnya, album Pet Grief malah sepertinya kurang populer dan kurang mendapat respon positif dibandingkan album pertama kalian, Lesser Matters

Johan: Ya. Mungkin begitu yah. Saya tidak tahu kenapa...

Martin: Saya rasa album pertama lebih gampang diberi sebuah label, at least untuk beberapa kalangan. Itu bisa diberi label shogaze untuk kalangan yang menyukai shoegaze. Itu seperti,”Yeah, I’ve been waiting for this since Loveless!” Yah..tidak tahu juga ya. Itu hanya teori. Dan Pet Grief lebih mix antara itu.

Johan: Mungkin kami seperti mengkhianati scene shoegaze. (tertawa) Ada salah seorang fans kami di Swedia yang benar-benar marah kepada kami karena kami berubah haluan. Dia sedikit marah kepada Martin beberapa kali.

Martin: Yah, dia hampir berkelahi dengan saya. (tertawa)

Ok. Sekarang berbicara mengenai Sofia Coppola. Dua lagu kalian masuk ke dalam film Sofia, Marie Antoinette. Bisa kalan ceritakan proses awalnya seperti apa?

Johan: Ya. Sebelumnya kami sedikit ragu untuk mengatakan iya terhadap tawaran ini. Tapi akhirnya kami lakukan juga.

Sofia Coppola sendiri yang menawarkan ke kalian? Atau melalui music supervisor-nya, Brian Reitzell?

Johan: Tidak. Sofia tidak berhubungan langsung dengan kami. Brian yang menhubungi kami via email. Kebetulan dia sedang berada di Swedia. Jadi kami bertemu dengannya. Dia memperlihatkan beberapa scene di film itu. Sebenarnya pada awalnya kami disuruh membuat lagu baru khusus untuk film itu. Kami akhirnya buat. Kami kirim beberapa track. Tapi mereka tidak cocok, katanya soundnya terlalu modern, terlalu urban. (tertawa) Akhirnya mereka memilih dua track: satu dari album pertama, dan satu lagi dari ep. Sebenarnya kami tidak banyak berkomunikasi dengan mereka saat proses ini terjadi. Mereka yang lebih banyak memutuskan, dimana harus memasukkan lagu ke dalam scene, dan sebagainya. 

Daniel: Mereka lebih memilih lagu yang lebih ’rural’.

Martin: 'Rural'? Apa maksudnya?

Daniel: Yah lebih ke country side...(tertawa)

Menurut kalian lagunya cocok ke dalam scene-nya?

Johan: Yah sepertinya. Ada satu scene waktu Kristen Dunst keluar dari bathtub, dan lagu “Keen on Boys muncul. Itu benar-benar scene yang bagus. (tertawa) Untuk lagu “Pulling Our Weight”, agak aneh sebenarnya melihat Fox hunting scene dengan iringan musik kami. Tapi saya sudah mulai membiasakannya.

Daniel: Nah, itu yang saya maksud tadi. The ‘rural’ sense terhadap musik kami. Saya tidak pernah merasa the ‘rural’ sense di musik kami sampai melihat film itu. Pada dasarnya kami semua suka film-film yang dihasilkan Sofia Coppola. Actually, dulu kami banyak berdiskusi mengenai film-filmnya. Dan dengan Sofia Coppola mau menggunakan musik kami ke dalam filmnya, itu merupakan sebuah penghargaan. Karena musik juga selalu menjadi bagian penting dalam setiap filmnya.

Martin: She has the good taste in music. 

Johan: Not the worst taste in music. (tertawa)

"The Worst Taste in Music", saya rasa judul itu sangat menarik. Sebenarnya apa cerita dibalik lagu itu?

Johan: Yah lebih banyak bercerita mengenai relationship. Seperti drama cinta segitiga. About jelaousy. 

Jadi di kisah itu siapa yang memiliki the worst taste in music? (tertawa)

Johan: Definetly the other guy, beside me. (tertawa)

Sejauh ini, kalian merasa puas dan nyaman dengan label kalian, Labrador?

Martin: Kami tidak mau membicarakannya. (tertawa)

Johan: Labrador sebuah label yang bagus. Kami dapat merilis rekaman kapan pun kami mau. Mereka orang-orang yang baik. Tapi kami melihatnya, kami bukan seperti umumnya band-band Labrador. Band-band lain disana lebih melakukan ”The Labrador thing” dan kami melakukan hal yang lain.

Seperti apa yang dimaksud dengan“The Labrador thing”?

Martin: Sound mereka sangat tipikal. Pasti kamu tahu saat mendengarkannya bahwa band-band itu dari Labrador. 

Johan: Mmh...mereka itu lebih carefree pop music. Naive in the bad way. 

Martin: It’s kinda bit like twee. But not good twee.

Tidak sebagus twee dari Sarah Records?

Martin: Ya, pasti. Tidak sebagus twee yang dihasilkan Sarah Records.(tertawa)

Belum lama ini, album kalian juga dirilis oleh XL Recordings. Apakah ini sebuah tanda ke depannya kalian akan meninggalkan Labrador?

Johan: Mungkin, suatu saat nanti. Kami sekarang masih menjalani kontrak untuk dua album ke depan. Yang satu akan dirilis setelah summer. Dan setelah itu kami harus membuat satu album lagi, sebelum kami bebas. Saya rasa kami tidak akan stay setelah itu. Mungkin kami akan merilis sendiri atau bergabung ke label lain.

Bagaimana mengenai album berikutnya? Akan seperti apa jadinya?

Johan: Sulit untuk mengatakannya sekarang.

Martin: More eclectic.

Johan: Mungkin akan lebih banyak lagu-lagu up tempo.

Akan lebih banyak elemen elektronik juga?

Martin: Tidak. Malah akan lebih kurang. Tapi kami tidak akan pernah tahu.

Daniel: Musiknya akan diantara political bossanova, drum n bass, antagonistic twee...

Johan: No. I don’t think so. (tertawa) Kami ada beberapa lagu yang memasukan beat samba tapi masih dibungkus oleh pop music. Secara keseluruhan aransemennya akan lebih minimalis.

Saya baca untuk album berikutnya kalian sudah mulai merekamnya di beberapa negara, seperti Jerman, beberapa kota di Amerika Selatan, seperti Lima dan Sao Paolo. 

Johan: Iya, itu benar. Jadi sekarang ini kami hidup di kota yang berbeda. Saya telah pindah ke Stockholm. Daniel juga. Sedangkan Martin sekarang tinggal di Malmo, di selatan Swedia. Jadi jika kami pergi ke luar negeri seperti ini, kami mencoba merekam lagu di jalan. Jadi albumnya direkam di berbagai negara.

Kalian sudah melakukannya disini?

Johan: Belum. Baru nanti malam mungkin kami akan mencoba melakukannya. 

Pada salah satu interview di awal karir kalian, Johan pernah menyatakan sebuah statement, “It's very rewarding, in many ways, to record at home instead of in an expensive studio, with a producer who doesn't understand what you're trying to do,” Apakah pernyataan tersebut masih valid hingga kini?

Johan: Iya. Itu lebih ke dasar pemikiran band kami. Kami sangat do it your self terhadap berbagai hal. Di luar merilis album rekaman, kami melakukan semuanya sendiri. Kami akan menjadi band pada umumnya kalau kami mulai kompromi dengan banyak hal. Kami biasanya mulai rekaman memang dari rumah. Pernah suatu kali, kami mencoba membuat demo di studio yang cukup besar. Disana ada teknisi yang benar-benar tidak mengerti apa yang kami lakukan. Akhirnya kami berdebat dengannya mengenai banyak hal sampai kepada hal terkecil. Dan kami sangat tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Saya rasa at least satu-satunya cara untuk menghindari hal itu lagi dengan melakukan semuanya sendiri. Terlalu banyak energi yang harus kami keluarkan untuk hal-hal seperti itu. Misalnya harus berkompromi dengan orang-orang yang sama sekali tidak tahu apa yang kami lakukan. Seperti produser-produser yang tidak tahu apa-apa, yang selama hidupnya hanya mendengarkan crap music (tertawa) Hal itu tidak akan berjalan dengan baik.

Kalian kan lebih sering merilis ep dibandingkan merilis full album. Ada alasan khusus mengenai hal ini?

Johan: Saya suka sesuatu dengan format yang lebih pendek. Jika itu rekaman atau live show, saya juga suka yang pendek. Karena mudah untuk bosan jika semuanya dilakukan dengan format yang panjang, bahkan kepada band yang kamu suka. Jadi saya rasa format ep lebih sempurna. 

Martin: Dengan ep kami bisa mendapat sense yang lebih terasa komplit. Lima lagu berjalan pada satu arah. Hal itu tidak akan membuat bosan. Kalau di album ada sepuluh atau dua belas lagu yang terdengar sama, itu cukup membosankan. 

Mengenai kecintaan kalian terhadap format pendek, itu juga berpengaruh pada penampilan live kalian?

Johan: Iya. Kami selalu bermain kurang lebih dua puluh lima menit. Tapi kalau disini akan sedikit lebih panjang. Di Swedia atau Eropa, kami biasa bermain tujuh atau delapan lagu. Kalau bermain di tempat yang jauh, seperti di Indonesia, kami mencoba bermain dengan durasi lebih panjang daripada biasanya. Karena waktu perjalanannya juga lebih lama. (tertawa)

Oh iya, apakah benar salah satu dari kalian adalah sepupu Pelle Calberg dari Edson?

Johan: Iya benar. Martin yang mempunyai hubungan keluarga dengan Pelle. 

Martin: Hubungan keluarganya sebenarnya bukan secara langsung. Istri saya yang merupakan sepupu dari Pelle. Saya hanya iparnya. 

Ada rencana untuk suatu saat bekerjasama dengannya?

Martin: Tidak. Bahkan jika ada orang yang mau membayar saya, saya rasa saya tidak akan mau melakukannya. (tertawa) Saya tidak mau mencampuradukan rasa persaudaraan ke dalam musik. (tertawa) Saya rasa kami melakukan hal yang benar-benar berbeda. Saya respek terhadap apa yang ia lakukan. Namun itu bukan selera saya. 

 

Dimuat di Jeune Magazine, no 24, Animal Issue (2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE

Enam Lagu Yang Mendefinisikan Paloh Pop

Musik Indonesia di Tahun Macan Air